Senin, 07 Mei 2012

Kisah Hukuman Pancung Dan Sejarahnya di Dunia

Banyak diantara kita yang bertanya-tanya, mengapa sampai terjadi hukuman sadis seperti itu? Setelah muncul berita tentang TKW Indonesia yang dihukum pancung di Arab Saudi beberapa waktu lalu. Berikut ini akan menjawab rasa penasaran kita akan kisah dan sejarah hukuman pancung tersebut di dunia.

Sesuai dengan syariat Islam yang berlaku sampai saat ini, Negara Arab Saudi masih menerapkan hukum pancung terhadap terpidana mati kasus pembunuhan. Eksekusi bisa batal, jika keluarga korban memaafkan dan pelaku diharuskan membayar diyat (uang pengganti) yang ditetapkan oleh keluarga korban. 


Syariat Islam memerintahkan hukuman mati dilaksanakan dengan cara dipenggal, bukan digantung atau ditembak. Sebelumnya, Saudi pernah menerapkan hukuman mati dengan cara ditembak.
 


Sejarah Hukuman Pancung
 


Hukuman pancung memiliki sejarah yang sangat panjang dan sulit diperkirakan asal usulnya, karena seperti hukuman gantung, hukuman pancung merupakan metode hukuman mati yang murah dan praktis, dimana eksekusi hanya membutuhkan sebilah pedang atau sebuah kapak saja.

Di Inggris ada anggapan, bahwa hukuman pancung merupakan hak istimewa para pria terhormat. Hukuman pancung ini akan membedakan seseorang dari terdakwa lainnya yang dihukum dengan cara yang tidak terhormat (keji), yaitu dengan dibakar secara hidup-hidup di atas tumpukan kayu.
 

Hukuman pancung secara luas digunakan di Eropa dan Asia sampai abad ke-20. Dan saat ini, hanya Arab Saudi dan Iran yang masih menggunakan metode hukuman mati seperti ini. Qatar dan Yaman pun sebenarnya melegalkan hukuman mati dengan metode seperti ini, namun sampai saat ini belum ada eksekusi dengan metode ini yang dilaporkan.

Hukuman pancung berlaku di Inggris sampai dengan tahun 1747 dan merupakan metode hukuman mati standar di Norwegia sampai saat dihapuskan pada tahun 1905, Swedia (sampai tahun 1903), Denmark (sampai tahun 1892), dan digunakan untuk beberapa kelas tahanan di Prancis (sampai penggunaan Guillotine di tahun 1792), serta di Jerman sampai dengan tahun 1938.
 

Semua negara-negara Eropa yang sebelumnya menggunakan hukuman pancung, sekarang telah benar-benar menghapuskan metode hukuman mati dengan cara ini.


Eksekusi Hukuman Pancung
 

Pada hukuman pancung, terdakwa yang akan dieksekusi biasanya ditutup matanya, sehingga mereka tidak dapat melihat pedang atau kapak yang datang menebas leher mereka, agar mereka tidak dapat menghindar atau mengelak.

Terkadang, dibutuhkan seorang asisten algojo untuk memegang rambut terdakwa yang akan dieksekusi, guna mencegah mereka agar tidak bergerak. Hasil eksekusi hukuman pancung adalah pendarahan ekstrim, seperti ledakan darah dari arteri dan vena yang terputus dari leher.
 

Hukuman pancung dapat dikatakan sebagai metode eksekusi yang manusiawi, jika dilakukan dengan benar, dimana hanya dibutuhkan cukup satu tebasan untuk memenggal kepala. Namun, karena otot dan tulang leher yang alot dan sulit dipotong, hukuman pancung biasanya memerlukan lebih dari satu tebasan pedang.

Kesadaran mungkin akan hilang dalam waktu 2-3 detik, karena suplai darah ke otak hilang secara cepat. Orang yang dieksekusi akan meninggal, karena otak tidak mendapat suplai darah dan oksigen, serta perdarahan dan kehilangan tekanan darah dalam waktu kurang dari 60 detik. Kematian juga terjadi karena pemisahan otak dan sumsum tulang belakang, selain karena perdarahan besar-besaran yang terjadi.
 

Sering terjadi dimana mata dan mulut orang yang di eksekusi menunjukkan tanda-tanda gerakan. Hal ini dapat terjadi, karena otak manusia memiliki cadangan oksigen yang cukup untuk metabolisme cadangan dan dapat dipakai untuk bertahan selama sekitar 7 detik setelah kepala terputus.


Kisah Para Algojo Pancung
 

Algojo pancung bertugas untuk mencabut nyawa terpidana mati. Di Arab Saudi, terdapat sekitar enam algojo yang ditunjuk langsung oleh Pemerintah Arab Saudi, untuk melakukan eksekusi pancung ini.

Abdallah bin Said al-Bishi adalah salah satu algojo pancung yang paling masyhur. Abdallah memulai tugas pertamanya pada tahun 1991, sepekan setelah ayahnya, Said al-Bishi wafat. 


Umurnya waktu itu 32 tahun. Ia sempat terkejut setelah beberapa pejabat dari Kementerian Dalam Negeri menunjukkan surat pengangkatannya sebagai algojo. Hari pertama, ia langsung memancung tiga orang. 


Dengan pedang bernama “Sultan” warisan ayahnya, ia mengaku gugup saat pertama memenggal kepala orang. Pedang Sultan berbentuk melengkung seperti bulan sabit dengan panjang setengah meter. Hingga kini, ia mengaku telah memancung lebih dari 100 kepala.
 
Abdallah bin Said al-Bishi

Untuk memuluskan tugasnya, Abdallah hanya memakai pedang produksi Jowhar, karena terbuat dari besi keras yang tidak mudah patah dan memang khusus untuk memancung kepala orang.

Jowhar adalah sebuah kota kecil di Somalia, sekitar 90 kilometer sebelah utara Ibu Kota Mogadishu. Cara memenggal pun ada dua, yaitu dengan cara horizontal dan vertikal. Masing-masing memerlukan pedang khusus. Ia menyebut “Qaridha” sebagai pedang spesialis pancung dengan cara vertikal.
 

Abdallah mengatakan tidak merasa berbeda saat akan memancung lelaki atau perempuan. Bahkan, ia mengaku pernah memenggal kepala teman-temannya yang menjadi terpidana mati. “Perbedaannya, kadang pria (yang akan dipenggal) tidak bisa mengendalikan kegelisahannya, sehingga bingung duduk atau berdiri. ”
 

Selain memenggal kepala, Abdallah juga melaksanakan hukuman potong tangan atau kaki. Bedanya, kalau pancung korban tidak dibius sama sekali, sedangkan potong tangan atau kaki dibius lokal. 


Ia menegaskan syarat utama menjadi algojo penggal adalah tidak boleh merasa iba terhadap orang yang akan dipancung. “Jika saya merasa iba, ia akan menderita. Bila hati ini merasa kasihan, tangan bakal gagal.”

Algojo ternama lainnya adalah Muhammad Sa’ad Al-Beshi. “Di negara ini, kami memiliki masyarakat yang memahami hukum Tuhan (Rabb),” katanya. “Tidak ada yang takut terhadap saya. Saya punya banyak saudara dan teman di masjid. Saya memiliki kehidupan normal seperti orang-orang lain. Tidak ada yang aneh dalam kehidupan sosial saya.”
 

Al-Beshi memulai kariernya di penjara Thaif sebagai petugas borgol dan menutup mata terpidana, sebelum menjalani eksekusi pancung. Ketika ada lowongan, Muhammad Sa’ad Al-Beshi melamar dan langsung diterima. Tugas pertamanya pada 1998 di Jeddah. 


Terpidana diikat dan ditutup matanya. “Dengan satu ayunan pedang, saya menebas kepalanya. Kepala menggelinding beberapa meter. Kala itu, banyak saksi yang muntah, usai menyaksikan pemenggalan tersebut.”
 


Kisah TKI Yang Terkena Hukuman Pancung
 

Arab Saudi merupakan salah satu negara yang mempunyai sistem hukum yang berbeda dengan negara lain. Terlebih, jika hukum tersebut menyangkut eksekusi hukuman mati. Oleh karena itu, tidak hanya Indonesia, beberapa negara lain pun kerapkali kesulitan, jika warga negaranya tersangkut masalah hukum di negara Saudi.

Di sana mereka menerapkan hukum Islam berdasarkan Al Qur'an. Dan hukum mereka itu juga berlaku hukum Qishash, yaitu hukuman mati terhadap pembunuh. Intinya, hukuman itu harus dibayar dengan nyawa dengan hukuman pancung. Dan masalah ini juga sebenarnya sudah menjadi kepedulian di dunia internasional saat ini.
 

Dalam setiap kasus hukuman mati itu, pengadilan Arab Saudi mempunyai beberapa tahap panjang untuk membuktikan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana bersalah atau tidak. 


Biasanya, untuk menentukan vonis hingga eksekusi, memerlukan waktu bertahun-tahun. Dalam tahapan panjang itu, pengadilan akan menentukan apakah tindakan dari pelaku pidana merupakan kejahatan murni atau hanya untuk membela diri.
 

Selain itu, keputusan keluarga korban sangat menentukan jadi tidaknya seseorang dieksekusi. Sebelum vonis itu ditetapkan, pengadilan akan menanyakan kepada keluarga korban terlebih dahulu, apakah memaafkan atau tidak. 


Jadi sikap keluarga korban yang tidak mau memberi maaf, cukup menjadi modal untuk mengeksekusi. Kalau memaafkan pun, itu dibagi dua, apakah dimaafkan murni atau memaafkan secara diyat (membayar denda). 


Bahkan, ada juga cara-cara lain, seperti menghapal ayat-ayat Al Quran, seperti kasus Siti Zaenab, yang lolos dari hukuman pancung karena mampu menghapal 30 juz ayat suci pada tahun 2009 lalu.
 

Kasus Ruyati binti Satubi, seorang tenaga kerja wanita (TKW) asal Indonesia yang dihukum mati pada Sabtu (18/6/2011) memang sangat sulit untuk meloloskannya dari vonis hukuman mati. 


Pasalnya, berdasarkan informasi dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Arab Saudi beberapa waktu lalu, Ruyati memang mengakui perbuatannya dari persidangan tahap pertama hingga akhir. Dan keluarga korban juga tidak memaafkan. Jadi, memang diperlukan usaha keras dalam kasus itu. 


Berbeda jika kita lihat dengan kasus Darsem, TKI lainnya, yang sempat akan dihukum mati. Dia selamat, karena terbukti di pengadilan kalau dia membunuh untuk membela diri sebab ingin diperkosa. Keluarga korban pun menyadari, dan akhirnya dia dimaafkan dan hanya dikenai denda.
 


Amnesty Internasional
 

Hukum pancung Arab Saudi belakangan ini, kembali menjadi sorotan Amnesty International. Tanpa memandang keyakinan hukum Islam yang berlaku, LSM ini menuntut Arab harus menghentikan hukuman mati, karena melanggar HAM.

Dalam pantauan Amnesty International, enam pekan ini terjadi lonjakan eksekusi pancung yang cukup tinggi. Tercatat, sebanyak 27 orang telah dipenggal sepanjang enam bulan pertama di tahun 2011 ini. Jumlah ini menyamai jumlah total tahun lalu. 


Terbanyak dalam sebulan adalah pada bulan Mei. Sebanyak 15 orang dipancung pada bulan itu, atau setiap dua hari ada seorang yang dipancung. Dalam tahun 2009, terjadi 67 pemancungan. Jumlah itu turun drastis dari tahun sebelumnya yang hanya 102 pemancungan.



sumber : http://sibukforever.blogspot.com/2012/05/kisah-hukuman-pancung-dan-sejarahnya-di.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar